Aceh, sebuah wilayah yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera, memiliki sejarah panjang yang memperlihatkan keragaman penduduk dan dinamika sosial budaya yang kompleks. Sebelum abad ke-15, penduduk wilayah ini didominasi oleh orang Aceh sebagai kelompok etnis utama. Namun, perubahan besar mulai terjadi ketika Sultan Iskandar Muda memerintah dan memperluas kekuasaan Kesultanan Aceh ke wilayah Sumatera Timur, Siak, dan sebagian Sumatera Tengah.
Ekspansi Sultan Iskandar Muda tidak hanya berdampak pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga membuka jalur komunikasi dan migrasi yang lebih lancar antarwilayah. Akibatnya, terjadi arus perpindahan penduduk dari Sumatera Barat ke Aceh Selatan. Proses migrasi ini mempertemukan orang Minangkabau dengan penduduk lokal Aceh, dan dari hasil percampuran inilah lahir kelompok etnis baru yang disebut Aneuk Jamee. Kehadiran Aneuk Jamee mencerminkan proses pembauran budaya yang menciptakan identitas khas baru di wilayah Aceh Selatan.
Demikian pula halnya dengan migrasi dari Sumatera Timur, yang turut berkontribusi dalam pembentukan budaya Tamiang. Migrasi ini diperkirakan meningkat seiring tekanan politik dan kolonialisme Belanda yang semakin kuat di Sumatera pada abad ke-17.
Lebih jauh ke belakang, sejarah Aceh juga menunjukkan jejak interaksi dan percampuran dengan bangsa asing seperti Arab, Persia, India, Cina, bahkan Portugis. Menurut catatan sejarawan Moh. Said yang mengutip Dr. Jacobs, penduduk Aceh digambarkan sebagai “allez mogelijk heterogene bestanddeelen”, yang berarti suatu masyarakat yang terdiri atas berbagai unsur etnis dan ras yang berbeda-beda.
Jejak-jejak ini dapat dilihat dalam unsur kebudayaan Aceh yang mengandung pengaruh Timur Tengah dan Asia Selatan, baik dalam bahasa, kuliner, seni, maupun sistem kepercayaan.
Selain etnis asli seperti orang Aceh, Tamiang, Aneuk Jamee, Gayo, Alas, Kluet, dan Simeulue, Aceh juga dihuni oleh berbagai kelompok pendatang. Penduduk dari etnis Batak, Minangkabau, dan Jawa banyak ditemukan di wilayah ini, terutama sejak program transmigrasi yang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Misalnya, orang Batak banyak tinggal di Aceh Tenggara dan diperkirakan mencapai 35 persen dari populasi daerah tersebut.
Sementara itu, orang Jawa umumnya tersebar di daerah-daerah perkebunan seperti Aceh Timur, Utara, Tengah, Besar, dan Barat. Mereka telah berbaur dan menjalin hubungan sosial yang erat dengan penduduk setempat.
Etnis Tionghoa juga menjadi bagian dari masyarakat Aceh, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Sekitar tahun 1974, tercatat sekitar 8.000 orang Tionghoa tinggal di Aceh, dengan konsentrasi terbesar di Banda Aceh. Mereka umumnya hidup dalam komunitas tersendiri dan berprofesi sebagai pedagang.
Social Plugin